}

Senin, 25 Juni 2012

Etologi Hewan- Kawin pada Rusa


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang      
            Indonesia merupakan salah satu  negara yang mempunyai kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Di Indonesia terdapat sekitar 30-100 juta makhluk hidup yang terdiri dari berbagai spesies tumbuhan, satwa dan jasad renik (Conservation internasional, 1999), kekayaan alam tersebut merupakan salah satu sumber daya nasional yang sangat penting, oleh karena itu dalam  pengelolaanya harus dapat memberikan sumbangan yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan (Iskandar, 1990).
Salah satu satwa yang terdapat di Indonesia adalah rusa. Rusa merupakan jenis hewan yang termasuk jenis kelas mamalia, ordo yang berkuku genap, family Cervidae, sub familia ervidae. Jumlah spesies rusa yang tersebar  di seluruh dunia adalah kurang lebih 40 spesies (Ariantiningsih, 2000).  Jenis rusa yang terdapat di Indonesia terdiri dari Cervus unicolor, Cervus timorensis, Hyelaphus chili, dan Axis axis, Semiadi (1986).

Rusa merupakan salah satu satwa liar yang mempunyai banyak manfaatnya, dimana tanduknya dapat dijadikan sebagai obat dan kulitnya juga dapat dijadikan sourvenir dan hiasan dinding.
            Menurut peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nonior 49Tambahan Lembaran  Negara Nomor 3419) serta undang-undang ordonansi dan peraturan perlindunagan binatang liar tahun 1931no. 134 dan 266 rusa sambar (Cervus unicolor) merupakan hewan yang dilindungi.;. Selanjutnya SK Menteri pertanian No. 362/KPTS/TN/12/V/1990, menyatakan bahwa rusa masuk dalam kelompok ternak yang dapat dibudidayakan seperti ternak lainnya dan termasuk pula di dalamnya mengatur tentang peraturan izin usaha (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994).

1.2 Rumusan Masalah
            Bagaimanakah tingkah laku kawin yang dilakukan pada rusa?
1.3 Tujuan
            Tujuan dari penelitian ini menjelaskan status dan deskripsi fisiologi reproduksi rusa melalui observasi visual dan pencatatan tingkah laku kawin.
1.4 Manfaat
            Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar untuk menyusun program penggelolahan rusa.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Rusa Sambar
Rusa Sambar (Cervus unicolor) merupakan populasi rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia mencakup pulau besar dan kecil yaitu pulau Sumatera, Kalimantan, Irian, Nusa Tenggara Timur dan Barat serta pulau kecil di sekitar Sumatera (Whitehead, 1994). Klasifikasi rusa Sambar berdasarkan tata nama ilmiah menurut (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class: Mamalia, ordo: Artiodactyla, sub ordo: Ruminantia, famili: Cervidae, Sub famili: Cervinae, genus: Cervus, spesies: C. unicolor, zoological name: Cervus unicolor.
Famili cervidae merupakan kelompok kompleks terbagi atas 57 spesies dan hampir 200 sub spesies. Rusa Sambar (sambur, sambhur, Tamil: Kadaththi man) adalah nama umum untuk beberapa rusa Asia yang mempunyai ciri berwarna coklat gelap dan tinggi pundak mencapai 102-160 cm dengan bobot badan mencapai 546 kg (Nugent et al., 2001). Tinggi badan pada rusa jantan dapat mencapai 160 cm dengan berat badan antara 136-320 kg, sedangkan rusa yang betina mencapai 115 cm dengan berat badan 135-225 kg. Ukuran ini bervariasi tergantung pada sub spesies. Ada kecenderungan sub spesies rusa sambar yang berasal dari India dan Sri Lanka merupakan yang terbesar (Awal et al., 1992, Lewis et al., 1990). Peternakan rusa di Australia mencatat, rusa Sambar betina dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, 1984).
Karakteristik Reproduksi Rusa Jantan dan Betina
Dilihat dari segi reproduksi, rusa termasuk satwa liar yang produktif, masa aktif reproduksi rusa dimulai dari umur 1,5 tahun- 12 tahun dan umur maksimum yang dapat dicapai sekitar 15-20 tahun (Garsetiasih dan Herlina, 2004). Di China rusa mampu beradaptasi pada habitat dengan iklim yang berubah-ubah (Li et al., 2001). Di zona temperate, musim kawin rusa white-tailed (Odocoileus virginianus) sangat dipengaruhi oleh iklim, akan tetapi ruminansia ini dapat kawin sepanjang tahun jika hidup di kawasan tropis.
Karakteristik reproduksi rusa jantan mempunyai korelasi dengan tahap pertumbuhan ranggah. English (1992) mengemukakan bahwa pertumbuhan rangggah rusa jantan yang hidup di daerah tropis sama dengan rusa jantan di daerah empat musim yang melewati empat tahap pertumbuhan ranggah yaitu: pedicle, velvet, ranggah keras dan lepas ranggah (casting). Beberapa peneliti juga mengemukakan bahwa aktivitas reproduksi rusa jantan di daerah empat musim mempunyai siklus yang berhubungan dengan tahap pertumbuhan ranggah (Brown et al. 1983; Mylrea 1992) dan panjang hari (Bubenik et al. 1987). Sedangkan siklus reproduksi rusa tropis diyakini tidak dipengaruhi oleh panjang hari. Nalley et al., (2005) mengemukakan adanya perbedaan aktivitas reproduksi pada tahap ranggah keras dan velvet pada rusa timor. Dimana aktivitas reproduksi tertinggi terjadi pada tahap ranggah keras. Diperkuat oleh hasil penelitian Handarini et al., (2005) bahwa kualitas semen rusa timor lebih tinggi pada tahap ranggah keras
dibandingkan ranggah velvet. Dapat dikatakan untuk rusa tropis aktivitas reproduksi erat kaitannya dengan pertumbuhan ranggah.
Fungsi ranggah selain sebagai penanda aktifitas reproduksi dengan cara menggaruk-garukkan ranggah pada batang pohon, membuat tanda teritori yang tidak boleh dijamah pejantan lain, juga digunakan sebagai alat perlindungan diri pada saat perkelahian untuk memperebutkan rusa betina.
Pada kelompok rusa ketika memasuki musim kawin, pejantan akan berkompetisi dengan pejantan lain untuk dapat menguasai kelompok betina yang dapat dikawininya. Sifat kompetisi ini akan membentuk suatu susunan kekuatan penguasaan yang disebut hierarki, pejantan yang dapat menguasai kelompok betina disebut pejantan dominan. Sedangkan sifat mengumpulkan beberapa ekor betina oleh seekor pejantan disebut pengumpulan harem (Semiadi dan Nugraha, 2004). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada beberapa spesies rusa tropis pada saat musim kawin mengeluarkan suara yang khas, lebih ganas, berguling dan berendam dalam lumpur, seperti pada rusa sambar (Schroder, 1976) dan rusa totol (Hadi, 1984).
Penelitian pada kondisi kandang yang berbeda menunjukkan perbedaan tingkah laku reproduksi rusa jantan. Tingkah laku yang umum tampak di habitat alaminya pada masa aktif reproduksi rusa jantan akan menunjukkan: rutting (mengasah tanduk), menandai daerah teritori dengan cara urinasi (urine spray), wallowing (berkubang) bila ada kubangan, membuat lubang di tanah dengan tanduk, berguling-guling membalut semua badan dengan lumpur, membuat mahkota diatas ranggah dengan rumput atau serpihan tanaman tahunan (Asher et al., 1996). Bila dikandangkan dengan fasilitas kubangan dan lantai semen maka beberapa tingkah laku akan menghilang menyesuaikan dengan kondisi kandang. Rusa jantan tidak dapat membuat lubang dan mengasah tanduk dilakukan pada kayu kandang (Toelihere et al., 2005).
Tingkah laku seksual pada berbagai musim kawin rusa telah diteliti Gastal et al. (1996) dengan penampakan tingkah laku reproduksi: flehmen, mounting tanpa ereksi dan gerakan kopulasi dari pelvis. Karakteristik dari tingkah laku seksual lain yang diamati adalah mencium daerah genital betina, menggigit dan mengeluarkan suara khas untuk aktivitas reproduksi (vocalization). Tingkah laku seksual pada hewan jantan dipisahkan menjadi motivasi seksual dan kemampuan kopulasi (Becker et al., 1992). Sedangkan menurut Bearden dan Fuguay (1997) tingkah laku seksual pada hewan jantan lebih, mengarah pada tingkah laku kawin yaitu keinginan untuk mencari pasangan dan kemampuan untuk kawin (kopulasi).
Tingkah laku reproduksi pada jantan menurut Becker et al. (1992) ada dua yaitu tingkah laku pre-copulation dan tingkah laku kopulasi. Tingkah laku pre-copulation penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah laku courtship (percumbuan) dengan tidak hanya menerima hewan jantan secara seksual tapi juga menghasilkan bau yang khas (pheromon), suara dan stimulasi fisik yang menandakan betina tersebut dalam kondisi estrus. Tingkah laku kopulasi ditandai dengan penerimaan jantan secara seksual. Performa yang tampak adalah lordosis yang ditandai dengan dengan tidak bergeraknya tubuh betina, posisi membungkuk dengan kaki depan direndahkan, kemudian badan membentuk lengkungan.
Angka kebuntingan tertinggi pada rusa betina dicapai saat pejantan menunjukkan tingkah laku rutting dan berada pada tahap keras. Lincoln (1992) mengemukakan bahwa pada rusa merah perkawinan atau introduksi rusa jantan pada kelompok rusa betina dilakukan selama musim panas (bulan September sampai Februari), pada tahap ini velvet sudah mulai digantikan dengan ranggah keras. Pejantan sangat agresif untuk memperebutkan betina dan perhatian secara khusus diberikan pejantan terutama pada betina yang sedang estrus. Di Scotlandia mayoritas kebuntingan rusa betina terjadi pada bulan Oktober dan kelahiran pada bulan Mei tahun berikutnya. Maka dapat diasumsikan bahwa pola reproduksi berkorelasi dengan tahap pertumbuhan ranggah.
Terdapat berbagai kemungkinan penyebab rendahnya produktivitas rusa sambar, antara lain rusa sambar betina bersifat non seasonal polioestrus artinya dapat birahi kapan saja sepanjang tahun dan bila tidak bunting akan birahi pada siklus berikutnya, sehingga dapat melahirkan sepanjang tahun (Semiadi, 2001). Bila rusa melahirkan pada musim dimana ketersediaan pakan terbatas, maka induk mempunyai beban yang sangat berat (English, 1992) yaitu terbatasnya produksi air susu, lambatnya pengembalian kondisi tubuhnya setelah melahirkan dan kembali birahi yang lambat yang menyebabkan postpartum anestrus yang panjang. Dampak pada anak yang dilahirkan yaitu pertumbuhan lambat, kematian anak tinggi karena air susu tidak mencukupi kebutuhan anak (Nelson dan Wolf, 1987; English dan Mulley, 1992). Penyebab rendahnya reprodukstivitas rusa yang kedua adalah karena rusa jantan mempunyai siklus reproduksi, yaitu pada saat ranggah luruh dan atau ranggah sedang tumbuh produksi spermatozoa minimal yang kemungkinan infertil (Haigh and Hudson, 1993; Dradjat, 2000; 2001; 2002; Handarini et al., 2004; 2005). Handarini (2006) melaporkan bahwa pada tahap ranggah velvet abnormalitas sperma secara individu pada rusa timor mencapai 96%.
Untuk mencapai kesuburan yang tinggi, pada betina birahi diperlukan rusa jantan yang berada pada fase ranggah keras, pada periode ini rusa jantan menghasilkan spermatozoa yang berkualitas baik dengan kesuburan tinggi. Seperti hewan jantan lain, rusa memiliki beberapa pola perkawinan yang bervariasi. Puncak musim kawin pada rusa sambar dihabitat asli (seperti di Indonesia) belum diketahui secara jelas. Rusa sambar yang dipelihara di Australia mengalami puncak musim kawin pada bulan Mei sampai Juni dan September sampai November. Di New Zealand musim kawin terjadi pada bulan Mei atau awal Juni (Semiadi et al. 1994; Semiadi, 1995). Hasil penelitian Imelda (2004) memperlihatkan bahwa tingkah laku kawin rusa sambar muncul antara bulan Juni hingga Agustus.
Tingkah laku lain adalah dengan membentuk mahkota. Ranggah merupakan pertanda dominasi seekor rusa jantan dalam suatu kelompok. Sifat jantan yang akan mengawini betina dan keberhasilan perkawinan tergantung pada tingkat dominasi jantan (agresivitas), daya tarik antara jantan dan betina yang sedang estrus, tahapan interaksi tingkah laku (kesiapan untuk mating) dan reaksi jantan untuk menaiki betina (Anonimous, 1995).
Hewan yang tidak dalam masa birahi akan menolak untuk kawin. Pada hewan yang tidak bunting, periode birahi dimulai sejak dari permulaan birahi sampai ke permulaan periode berikutnya (Akoso, 1996). Gejala kebuntingan sapi setelah pelaksanaan perkawinan, sangat penting diketahui. Namun dalam praktek bukan berarti bahwa tidak timbulnya birahi sapi betina menyatakan adanya kebuntingan. Hal yang harus dicatat adalah bila sapi betina sudah dikawinkan mempunyai gejala berat tubuhnya meningkat, pertambahan besar dari dinding perut terlihat. Sapi betina menjadi lebih tenang, pada sapi betina yang baru pertama kali bunting terlihat adanya perkembangan ambing, terlihat adanya gerakan pada perut sebelah bawah, sisi kanan, dan belakang. Maka gejala kebuntingan positif (Murtidjo, 1990).
Pada rusa timor betina pada umur satu sampai dua tahun sudah dapat bereproduksi dengan lama bunting antara 7.5 bulan sampai 8.3 bulan. Bila ditangani secara intensif satu bulan setelah melahirkan rusa sudah dapat bunting lagi terutama bila dilakukan penyapihan dini pada anak yang dilahirkan. Setiap tahun rusa dapat menghasilkan anak, biasanya anak yang dilahirkan hanya satu ekor. Untuk Penangkaran rusa , jumlah betina lebih banyak dibandingkan jumlah jantan karena satu ekor rusa jantan dapat mengawini beberapa betina dan pada rusa timor Ratio seks jantan: betina yaitu 1:2 (Takandjandji, 1993) dan menurut Garsetiasih dan Takandjandji (2007) bahwa rusa jantan dalam penangkaran dapat mengawini empat ekor rusa betina.
Pola Kopulasi Rusa
Pola kopulasi terjadi secara berurutan sehingga mudah dibedakan dengan aktifitas prekopulatori. Dimulai dengan percumbuan (courtship), pada periode ini biasanya pejantan memisahkan betina estrus dengan kelompok betina lain bahkan mengusir pejantan-pejantan sub ordinat (secara hirarki lebih rendah tingkatan sosialnya) yang mencoba mendekati betina. Pamer seksual juga ditunjukkan dengan cara menciumi daerah perineal betina dan roaring (vocalization). Flehmen (nyengir atau lip curl) juga merupakan komponen percumbuan yang khas pada Artiodactyla. Rusa mengambil posisi kepala tegak pada mulut ke arah atas dan bibir atas terangkat. Stimulus flehmen dapat berupa urine betina atau genital betina. Setelah mencium urine atau genital betina estrus, rusa jantan akan flehmen (Toelihere, 1983).
Mounting (penunggangan) biasanya belum berhasil sampai beberapa kali pada saat betina masih pada fase proestrus (belum bersedia menerima pejantan). Setelah betina estrus (cukup reseptif menerima pejantan) maka penunggangan akan diikuti dengan kopulasi. Pejantan meletakkan dagunya pada bagian belakang betina dan betina memberikan respon dengan memberi tekanan dengan menggunakan punggungnya ke arah atas. Bila sudah demikian, maka pejantan akan memfiksir kaki depan pada pinggul betina dan mendorong pelvis ke arah depan. Selama proses penunggangan organ kopulatori ereksi secara partial dan keluar dari preputium. Bila ada cairan yang keluar dari organ kopulatori merupakan eksresi dari kelenjar Cowper bukan semen.
Intromisi terjadi karena adanya kontraksi musculus rectus abdominalis. Setelah semua organ kopulatori keluar dari preputium, intromisi baru terjadi. Lama waktu intromisi yang bervariasi antar jenis ternak.
Ejakulasi terjadi setelah intromisi sempurna sehingga semen dapat dideposisikan pada tempat yang sesuai dengan anatomi organ reproduksi betina. Rusa jantan deposisi semen mendekati mulut serviks. Ejakulasi aborsif dapat terjadi apabila betina menolak intromisi organ kopulatori pejantan.
Refraktori adalah masa istirahat sementara dari aktivitas reproduksi. Menurut Toelihere et al. (2005) frekuensi kopulasi berbeda menurut iklim, jenis, bangsa, individu, sex ratio, luas atau kandang, periode istirahat kelamin dan rangsangan seksual. Bila kondisi iklim memungkinkan untuk kopulasi maka kopulasi dapat terjadi pada waktu siang atau malam hari.




BAB III
 METODE PENULISAN

            Metode penulisan yang digunakan adalah dengan metode pengumpulan data-data dan informasi yang berbentuk buku-buku, jurnal dan hasil-hasil penelitian yang mana dengan data-data dan informasi yang telah dikumpulkan, yang nantinya ditemukan sebuah permasalahan. Berdasarkan pemasalahan yang telah ditemukan maka akan  menciptakan alternative pemecahan masalah dan pemecahan masalah yang digunakan dalam metode penulisan ini adalah dengan metode telaah pustaka.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Rusa Sambar
            Rusa Sambar (Cervus unicolor) merupakan rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesiaterbatas di pulau Sumatera, Kalimantan dan pulau kecil di sekitar Sumatera (Whitehead, 1994). Rusa sambar juga merupakan jenis rusa yang besar dan mempunyai  kaki yang panjang, warna kulit dan rambut coklat tua, bagian perut berwarna lebih gelap sampai kehitam-hitaman, rambut kaku, kasar dan pendek. Berat badan bervariasi antara 185 – 260 kg dengan tinggi badan 140 – 160 cm. Jantan dewasa memiliki rambut surai yang panjang dan lebat di bagian leher dan atas kepala. Rusa Sambar mencapai dewasa kelamin pada umur 8 bulan dan dapat hidup hingga umur 11 tahun. Periode gestasi 7 bulan dan interval gestasi mencapai 1,5 tahun (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994). Ada kecenderungan anak jenis rusa sambar yang berasal dari India dan Sri langka merupakan yang terbesar dan tertinggi (Awal et al., 1992, Lewis et al., 1990). Pada linkungan  peternakan di Australia, rusa sambar betina dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, 1984). Berdasarkan  daftar  merah  yang dikeluarkan IUCN tahun 2007, rusa Sambar berstatus Lower Risk/Least Concern dan termasuk dalam spesies yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia.

            Warna bulu rusa sambar umumnya coklat denganvariasinya yang agak kehitaman (gelap) pada yang jantan atau yang telah tua. Ekor agak pendek dan tertutup bulu yang cukup panjang. Keadaan bulu termasuk kasar dan tidak terlalu rapat. Pada daerah leher bagian lateral, bulu membentuk suatu surai/malai (mane). Perubahan warna bulu dari coklat cerah menjadi lebih gelap, khususnya pada yang jantan dominan, sering terlihat bersamaan dengan
masuknya pejantan ke musim kawin (Semiadi, 2004pengamatan pribadi).
     Rusa sambar memperlihatkan masa reproduksinya  di tandai dengan tingkah laku yang lebih jinak dari pada  dalam keadaan biasanya. Masa reproduksi pada rusa sambar betina terlihat antara bulan Juli hingga Agustus (Imelda, 2004). Selang beranak antara yang pertama dan kedua berjarak satu tahun dua bulan, sedangkan lama kebuntingannya adalah  antara 250-285 hari (Ariantiningsih, 2000). Di zona temperate, musim kawin rusa white-tailed (Odocoileus virginianus) sangat dipengaruhi oleh iklim, akan tetapi ruminansia ini dapat kawin sepanjang tahun jika hidup di kawasan tropis (Li et al., 2001).

4.1.2 Habitat
     Habitat yang disukai adalah hutan yang terbuka atau padang rumput dan hidup pada berbagai ketinggian mulai dari dataran rendah sampai daerah pantai hingga ketinggian 2600 m di atas permukaan laut. Pada semak belukar yang rapat, biasanya di gunakan sebagai tempat untuk berlindung dan bersembunyi (Ariantiningsih, 2000). 
          Adapun jenis pengamatan yang akan dilakukan adalah beberapa pengamatan reproduksi yaitu pengamatan esterus, gejala dan siklus esterus betina serta tingkah laku kawin jantan-betina ini dilakukan melalui observsi visual di siang hari. Parameter fisiologi reproduksi rusa sambar yang akan di amati :
1.      Gejala/tanda-tanda eksternal estrus rusa betina.
Apabila tanda-tanda estrus ditemukan, dilanjutkan dengan pengamatan visual bentuk dan kondisi eksternal vulva seperti bengkak, warna kemerahan dan terasa hangatnya vulva bila disentuh atau tanda spesifik lainnya. Dan apabila tanda-tanda ini sudah terlihat maka rusa betina sudah mengalami esterus dan siap untuk dikawini.
2.      Durasi estrus rusa betina.
Dilakukan dengan cara menghitung jumlah hari dimulai dari saat munculnya gejala estrus di hari pertama sampai hari terakhir gejala estrus terlihat (Putranto, 2008). Parameter ini akan menunjukkan kemungkinan munculnya fenomena silent estrus pada rusa Sambar betina (jika ada). Apabila terjadi silent esterus itu berarti rusa telah di kawini.
3.      Pencatatan tingkah laku estrus rusa betina.
Dilakukan dengan cara observasi visual tingkah laku estrus berupa vokalisasi, flehmen dan urinasi (Schmidt et al., 1988; Umaphaty et al., 2006) yang dilakukan siang hari antara pukul 08.00 hingga 17.00 setiap hari. Setiap tingkah laku estrus yang terlihat diberi skor satu (1) dan  nol (0) bila tidak ditemukan pada hari tersebut (Putranto, 2008). Total data skor tingkah laku estrus dinyatakan dalam frekuensi per 30 hari selama satu musim (hujan atau kemarau) dengan bulan sebagai ulangan.
4.      Pencatatan tingkah laku kawin rusa jantan – betina.
Dilakukan dengan observasi visual tingkah laku kawin berupa vokalisasi, tarian ataupun aktifitas fisik yang dilakukan rusa jantan dan betina serta kopulasi yang dilakukan siang hari antara pukul 08.00 hingga 17.00 setiap hari. Setiap tingkah laku kawin yang terlihat diberi skor satu (1) dan nol (0) bila tidak ditemukan pada hari tersebut (Putranto, 2008). Total data skor tingkah laku kawin dinyatakan dalam frekuensi per 30 hari selama satu musim (hujan atau kemarau) dengan bulan sebagai ulangan.
5.      Penimbangan berat badan hidup rusa jantan dan betina.
Rusa jantan dan betina akan ditimbang berat badan hidupnya pada tanggal 1 setiap bulannya. Unit pengukuran adalah kilogram.

4.2 Pembahasan
Parameter fisiologi reproduksi rusa sambar yang diamati dalam penelitian ini meliputi gejala/tanda-tanda eksternal estrus rusa betina, durasi sterus rusa betina, tingkah laku esterus betina, tingkah laku kawin jantan-betina dan penimbangan berat badan hidup rusa jantan dan betina.
Gejala/tanda-tanda eksternal esterus betina merupakan factor utama dalam proses siklus kawin rusa yang mana tanda ini sangat berpengaruh untuk memberikan sinyal terhadap pejantan bahwa rusa betina siap untuk dikawini. Apabila tanda-tanda tidak kelihatan ,maka kegiatan reproduksi rusa otomatis akan terhambat dikarenakan sang pejantan tidak tau kapan betina siap dikawini.
Durasi esterus betina merupakan juga factor penting dalam siklus kawin rusa karena dengan mengetahui berapa lama durasi esterus rusa betina maka kita dapat mempersiapkan pejantan untuk mengawini rusa betina, sehingga kita tidak kehilangan saat-saat dimana rusa betina sedang esterus.
Pencatatan tingkah laku kawin rusa juga merupakan komponen penting dalam penelitian ini karena apabila rusa jantan menunjukkan tanda-tanda yang aneh seperti mengeluarkan suara-suara atau berupa tari-tarian itu berarti rusa jantan tersebut ingin mengawini rusa betina.

BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
            Dari penelitian telaah pustaka yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa dengan pengetahuan tentang tingkah laku reproduksi rusa pada saat musim kawin dapat memberikan informasi data fundamental yang nantinya akan menjadi landasan untuk teknologi reproduksi selanjutnya.




Daftar Pustaka
Alikondra, S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar, jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut pertanian bogor.Bogor   
Anderson, R. 1984. Deer farming in Australia. In: Deer Refresher CourseProceedings no. 72. Sydney: University of Sydney.           
  
Awal. A, N.J sarker and K.Z Husain. 1992. Breeding Record of Sambar Deer (Cervus unicolor) in Captivity. Bangladesh jounal of zoology 20: 285-290.

Cornwell-Smith, M.J.  1981.  Farming deer in Britain and New Zealand.  Span Vol. 24.  hal: 12-15.
Conservation International, 1999. Mengenai Keanekaragaman Hayati. Irian jaya.
Garsetiasih, R., N. Herlina. 2004. Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor.

Imelda.  2004.  Tingkah Laku Sosial Rusa Sambar (Cervus unicolor Equinus) di Balai Raya Semarak Bengkulu.  Skripsi.  Program Studi Produksi Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.  96 hal.
Iskandar, T. 1990. Rusa bawean perlukah dibudidayakan. Poultry Indonesia No. 130/Th. XI Nopvember 1990. Jakarta.
Jacoeb, T.N. dan Wiryosuhanto, S.D.  1994.  Prospek Budidaya Ternak Rusa.  Kanisius, Yogyakarta.
Li, C., Jiang, Z., Jiang, G. dan Fang, J.  2001.  Seasonal changes of reproductive behavior and fecal steroid concentrations in Perè David`s deer.  Hormones and Behavior Vol. 40.  hal: 518-525.
Lewis, J.C., L.B. Flynn, R.L. Marchinton, S.M. Shea, and E.M.Marchinton.1990. Part I. Introduction, study area description and literature review.In: Ecology of sambar on St. Vincent National Wildlife Refugee. Florida.Tall Timbers Research Station. Tallahassee Bulletin 25: 1-12

Meffe, G. K. dan C. R. Carroll. 1994. What is Conservation Biology? : Principles Of Conservation Biology. Sinaver Associates, Inc. Publishers. Sunderland. Massachussetts.


Putranto, H.D.  2008.  Reproductive Physiological Studies for Conservation of Indonesian Endangered Animals by Non-Invasive Analysis of Sex Steroid Hormones.  Disertasi.  Gifu University, Japan.  134 hal.
Putranto, H.D., Kusuda, S., Inagaki, K., Kumagai, G., Ishii-Tamura, R., Uziie, Y. dan Doi, O.  2007a.  Ovarian activity and pregnancy in the Siberian tiger, Panthera tigris altaica, assessed by fecal gonadal steroid hormones analyses.  The Journal of Veterinary Medical Science Vol. 69 (5).  hal: 569-571.
Putranto, H.D., Kusuda, S., Hashikawa, H., Kimura, K., Naito, H. dan Doi, O.  2007b.  Fecal progestins and estrogens for endocrine monitoring of ovarian cycle and pregnancy in Sumatran orangutan (Pongo abelii).  Japanese Journal of Zoo and Wildlife Medicine Vol. 12 (2).  hal: 97-103.
Putranto, H.D., Kusuda, S., Ito, T., Terada, M., Inagaki, K. dan Osamu, D.  2007c.  Reproductive cyclicity based on fecal steroid hormones and behaviors in Sumatran tigers, Panthera tigris sumatraeJapanese Journal of Zoo and Wildlife Medicine Vol. 12 (2).  hal: 111-115.
Petoc, R. G. 1987. Konservasi alam dan pembangunan irian jaya. Graffiti press. Jakarta.
Salwasser, H. 1994. Corsevation Biology and Management of Natural Resources. In Meffe and Carrol. Principles of Conservation Biology. Sinaver Associates. Inc. Publishers. Sunderland. Massachussetts.

Semiadi, G. 1998. Pola kelahiran Rusa timorensis di Nusa Tenggara Timur. Hayati 5: 22-24.

Semiadi, G and R.T.P. Nugraha, 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Schmitd, A.M., Hess, D.L., Schmidt, M.J., Smith, R.C. dan Lewis, C.R.  1988.  Serum concentrations of oestradiol and progesterone, and sexual behavior during the normal oestrous cycle in the leopard (Panthera pardus).  Journal of Reproduction and Fertility Vol. 82.  hal: 43-49.
Soerianegara, I. 1997. Pengelolaan Sumber Daya Alam (Buku I). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soekarnto, T. dan U. S. winataputra. 1997. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instrusional. Direktur jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sugandhy, A. 1995. Bioteknologi dan keselamatan hayati : Mengatisipasi Dampak Bioteknologi Modern Terhadap Kehidupan Manusia dan Etika. Konphalindo. Jakarta.

Umapathy, G., Sontakke, D., Srinivasu, K., Kiran, T., Kholkute, S.D. dan Shivaji, S.  2006.  Estrus behavior and fecal steroid profiles in the Asiatic lion (Panthera leo persica) during natural and gonadotrophin-induced estrus.  Animal Reproduction Science Vol. 101 (3-4).  hal: 313-325.

0 komentar:

Posting Komentar