BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kekayaan alam yang
tak ternilai harganya. Di Indonesia terdapat sekitar 30-100 juta makhluk hidup
yang terdiri dari berbagai spesies tumbuhan, satwa dan jasad renik
(Conservation internasional, 1999), kekayaan alam tersebut merupakan salah satu
sumber daya nasional yang sangat penting, oleh karena itu dalam
pengelolaanya harus dapat memberikan sumbangan yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan (Iskandar, 1990).
Salah satu
satwa yang terdapat di Indonesia adalah rusa. Rusa merupakan jenis hewan yang
termasuk jenis kelas mamalia, ordo yang berkuku genap, family Cervidae, sub
familia ervidae. Jumlah spesies rusa yang tersebar di seluruh dunia adalah
kurang lebih 40 spesies (Ariantiningsih, 2000). Jenis rusa yang terdapat
di Indonesia terdiri dari Cervus unicolor, Cervus timorensis, Hyelaphus
chili, dan Axis axis, Semiadi (1986).
Rusa
merupakan salah satu satwa liar yang mempunyai banyak manfaatnya, dimana
tanduknya dapat dijadikan sebagai obat dan kulitnya juga dapat dijadikan
sourvenir dan hiasan dinding.
Menurut peraturan pemerintah
republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa mengingat undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nonior 49Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419) serta undang-undang ordonansi dan peraturan
perlindunagan binatang liar tahun 1931no. 134 dan 266 rusa sambar (Cervus
unicolor) merupakan hewan yang dilindungi.;. Selanjutnya SK Menteri
pertanian No. 362/KPTS/TN/12/V/1990, menyatakan bahwa rusa masuk dalam kelompok
ternak yang dapat dibudidayakan seperti ternak lainnya dan termasuk pula di
dalamnya mengatur tentang peraturan izin usaha (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah
tingkah laku kawin yang dilakukan pada rusa?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini menjelaskan status dan deskripsi fisiologi
reproduksi rusa melalui observasi visual dan pencatatan tingkah laku kawin.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar untuk menyusun
program penggelolahan rusa.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Karakteristik
Rusa Sambar
Rusa
Sambar (Cervus unicolor) merupakan populasi rusa terbesar untuk daerah
tropik dengan sebaran di Indonesia mencakup pulau besar dan kecil yaitu pulau
Sumatera, Kalimantan, Irian, Nusa Tenggara Timur dan Barat serta pulau kecil di
sekitar Sumatera (Whitehead, 1994). Klasifikasi rusa Sambar berdasarkan tata
nama ilmiah menurut (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia,
pilum: Chordata, Class: Mamalia, ordo: Artiodactyla, sub
ordo: Ruminantia, famili: Cervidae, Sub famili: Cervinae,
genus: Cervus, spesies: C. unicolor, zoological name: Cervus
unicolor.
Famili
cervidae merupakan kelompok kompleks terbagi atas 57 spesies dan hampir
200 sub spesies. Rusa Sambar (sambur, sambhur, Tamil: Kadaththi man)
adalah nama umum untuk beberapa rusa Asia yang mempunyai ciri berwarna coklat
gelap dan tinggi pundak mencapai 102-160 cm dengan bobot badan mencapai 546 kg
(Nugent et al., 2001). Tinggi badan pada rusa jantan dapat mencapai 160 cm
dengan berat badan antara 136-320 kg, sedangkan rusa yang betina mencapai 115
cm dengan berat badan 135-225 kg. Ukuran ini bervariasi tergantung pada sub
spesies. Ada kecenderungan sub spesies rusa sambar yang berasal dari India dan
Sri Lanka merupakan yang terbesar (Awal et al., 1992, Lewis et al.,
1990). Peternakan rusa di Australia mencatat, rusa Sambar betina dapat mencapai
berat badan 228 kg (Anderson, 1984).
Karakteristik
Reproduksi Rusa Jantan dan Betina
Dilihat
dari segi reproduksi, rusa termasuk satwa liar yang produktif, masa aktif
reproduksi rusa dimulai dari umur 1,5 tahun- 12 tahun dan umur maksimum yang
dapat dicapai sekitar 15-20 tahun (Garsetiasih dan Herlina, 2004). Di China
rusa mampu beradaptasi pada habitat dengan iklim yang berubah-ubah (Li et al.,
2001). Di zona temperate, musim kawin rusa white-tailed (Odocoileus
virginianus) sangat dipengaruhi oleh iklim, akan tetapi ruminansia ini
dapat kawin sepanjang tahun jika hidup di kawasan tropis.
Karakteristik
reproduksi rusa jantan mempunyai korelasi dengan tahap pertumbuhan ranggah.
English (1992) mengemukakan bahwa pertumbuhan rangggah rusa jantan yang hidup
di daerah tropis sama dengan rusa jantan di daerah empat musim yang melewati
empat tahap pertumbuhan ranggah yaitu: pedicle, velvet, ranggah keras
dan lepas ranggah (casting). Beberapa peneliti juga mengemukakan bahwa
aktivitas reproduksi rusa jantan di daerah empat musim mempunyai siklus yang
berhubungan dengan tahap pertumbuhan ranggah (Brown et al. 1983; Mylrea
1992) dan panjang hari (Bubenik et al. 1987). Sedangkan siklus
reproduksi rusa tropis diyakini tidak dipengaruhi oleh panjang hari. Nalley et
al., (2005) mengemukakan adanya perbedaan aktivitas reproduksi pada tahap
ranggah keras dan velvet pada rusa timor. Dimana aktivitas reproduksi
tertinggi terjadi pada tahap ranggah keras. Diperkuat oleh hasil penelitian
Handarini et al., (2005) bahwa kualitas semen rusa timor lebih tinggi
pada tahap ranggah keras
dibandingkan
ranggah velvet. Dapat dikatakan untuk rusa tropis aktivitas reproduksi
erat kaitannya dengan pertumbuhan ranggah.
Fungsi
ranggah selain sebagai penanda aktifitas reproduksi dengan cara
menggaruk-garukkan ranggah pada batang pohon, membuat tanda teritori yang tidak
boleh dijamah pejantan lain, juga digunakan sebagai alat perlindungan diri pada
saat perkelahian untuk memperebutkan rusa betina.
Pada
kelompok rusa ketika memasuki musim kawin, pejantan akan berkompetisi dengan
pejantan lain untuk dapat menguasai kelompok betina yang dapat dikawininya.
Sifat kompetisi ini akan membentuk suatu susunan kekuatan penguasaan yang
disebut hierarki, pejantan yang dapat menguasai kelompok betina disebut
pejantan dominan. Sedangkan sifat mengumpulkan beberapa ekor betina oleh seekor
pejantan disebut pengumpulan harem (Semiadi dan Nugraha, 2004). Beberapa
penelitian melaporkan bahwa pada beberapa spesies rusa tropis pada saat musim
kawin mengeluarkan suara yang khas, lebih ganas, berguling dan berendam dalam
lumpur, seperti pada rusa sambar (Schroder, 1976) dan rusa totol (Hadi, 1984).
Penelitian
pada kondisi kandang yang berbeda menunjukkan perbedaan tingkah laku reproduksi
rusa jantan. Tingkah laku yang umum tampak di habitat alaminya pada masa aktif
reproduksi rusa jantan akan menunjukkan: rutting (mengasah tanduk),
menandai daerah teritori dengan cara urinasi (urine spray), wallowing
(berkubang) bila ada kubangan, membuat lubang di tanah dengan tanduk,
berguling-guling membalut semua badan dengan lumpur, membuat mahkota diatas
ranggah dengan rumput atau serpihan tanaman tahunan (Asher et al., 1996).
Bila dikandangkan dengan fasilitas kubangan dan lantai semen maka beberapa
tingkah laku akan menghilang menyesuaikan dengan kondisi kandang. Rusa jantan
tidak dapat membuat lubang dan mengasah tanduk dilakukan pada kayu kandang
(Toelihere et al., 2005).
Tingkah
laku seksual pada berbagai musim kawin rusa telah diteliti Gastal et al. (1996)
dengan penampakan tingkah laku reproduksi: flehmen, mounting tanpa
ereksi dan gerakan kopulasi dari pelvis. Karakteristik dari tingkah laku
seksual lain yang diamati adalah mencium daerah genital betina, menggigit dan
mengeluarkan suara khas untuk aktivitas reproduksi (vocalization).
Tingkah laku seksual pada hewan jantan dipisahkan menjadi motivasi seksual dan
kemampuan kopulasi (Becker et al., 1992). Sedangkan menurut Bearden dan
Fuguay (1997) tingkah laku seksual pada hewan jantan lebih, mengarah pada
tingkah laku kawin yaitu keinginan untuk mencari pasangan dan kemampuan untuk
kawin (kopulasi).
Tingkah
laku reproduksi pada jantan menurut Becker et al. (1992) ada dua yaitu
tingkah laku pre-copulation dan tingkah laku kopulasi. Tingkah
laku pre-copulation penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya
disebut dengan tingkah laku courtship (percumbuan) dengan tidak hanya
menerima hewan jantan secara seksual tapi juga menghasilkan bau yang khas
(pheromon), suara dan stimulasi fisik yang menandakan betina tersebut dalam
kondisi estrus. Tingkah laku kopulasi ditandai dengan penerimaan jantan secara
seksual. Performa yang tampak adalah lordosis yang ditandai dengan dengan tidak
bergeraknya tubuh betina, posisi membungkuk dengan kaki depan direndahkan,
kemudian badan membentuk lengkungan.
Angka
kebuntingan tertinggi pada rusa betina dicapai saat pejantan menunjukkan
tingkah laku rutting dan berada pada tahap keras. Lincoln (1992)
mengemukakan bahwa pada rusa merah perkawinan atau introduksi rusa jantan pada
kelompok rusa betina dilakukan selama musim panas (bulan September sampai
Februari), pada tahap ini velvet sudah mulai digantikan dengan ranggah
keras. Pejantan sangat agresif untuk memperebutkan betina dan perhatian secara
khusus diberikan pejantan terutama pada betina yang sedang estrus. Di
Scotlandia mayoritas kebuntingan rusa betina terjadi pada bulan Oktober dan
kelahiran pada bulan Mei tahun berikutnya. Maka dapat diasumsikan bahwa pola
reproduksi berkorelasi dengan tahap pertumbuhan ranggah.
Terdapat
berbagai kemungkinan penyebab rendahnya produktivitas rusa sambar, antara lain
rusa sambar betina bersifat non seasonal polioestrus artinya dapat
birahi kapan saja sepanjang tahun dan bila tidak bunting akan birahi pada
siklus berikutnya, sehingga dapat melahirkan sepanjang tahun (Semiadi, 2001).
Bila rusa melahirkan pada musim dimana ketersediaan pakan terbatas, maka induk
mempunyai beban yang sangat berat (English, 1992) yaitu terbatasnya produksi
air susu, lambatnya pengembalian kondisi tubuhnya setelah melahirkan dan
kembali birahi yang lambat yang menyebabkan postpartum anestrus yang panjang.
Dampak pada anak yang dilahirkan yaitu pertumbuhan lambat, kematian anak tinggi
karena air susu tidak mencukupi kebutuhan anak (Nelson dan Wolf, 1987; English
dan Mulley, 1992). Penyebab rendahnya reprodukstivitas rusa yang kedua adalah
karena rusa jantan mempunyai siklus reproduksi, yaitu pada saat ranggah luruh
dan atau ranggah sedang tumbuh produksi spermatozoa minimal yang kemungkinan
infertil (Haigh and Hudson, 1993; Dradjat, 2000; 2001; 2002; Handarini et
al., 2004; 2005). Handarini (2006) melaporkan bahwa pada tahap ranggah velvet
abnormalitas sperma secara individu pada rusa timor mencapai 96%.
Untuk
mencapai kesuburan yang tinggi, pada betina birahi diperlukan rusa jantan yang
berada pada fase ranggah keras, pada periode ini rusa jantan menghasilkan
spermatozoa yang berkualitas baik dengan kesuburan tinggi. Seperti hewan jantan
lain, rusa memiliki beberapa pola perkawinan yang bervariasi. Puncak musim
kawin pada rusa sambar dihabitat asli (seperti di Indonesia) belum diketahui
secara jelas. Rusa sambar yang dipelihara di Australia mengalami puncak musim
kawin pada bulan Mei sampai Juni dan September sampai November. Di New Zealand
musim kawin terjadi pada bulan Mei atau awal Juni (Semiadi et al. 1994;
Semiadi, 1995). Hasil penelitian Imelda (2004) memperlihatkan bahwa tingkah
laku kawin rusa sambar muncul antara bulan Juni hingga Agustus.
Tingkah
laku lain adalah dengan membentuk mahkota. Ranggah merupakan pertanda dominasi
seekor rusa jantan dalam suatu kelompok. Sifat jantan yang akan mengawini
betina dan keberhasilan perkawinan tergantung pada tingkat dominasi jantan
(agresivitas), daya tarik antara jantan dan betina yang sedang estrus, tahapan
interaksi tingkah laku (kesiapan untuk mating) dan reaksi jantan untuk menaiki
betina (Anonimous, 1995).
Hewan
yang tidak dalam masa birahi akan menolak untuk kawin. Pada hewan yang tidak
bunting, periode birahi dimulai sejak dari permulaan birahi sampai ke permulaan
periode berikutnya (Akoso, 1996). Gejala kebuntingan sapi setelah pelaksanaan
perkawinan, sangat penting diketahui. Namun dalam praktek bukan berarti bahwa
tidak timbulnya birahi sapi betina menyatakan adanya kebuntingan. Hal yang
harus dicatat adalah bila sapi betina sudah dikawinkan mempunyai gejala berat
tubuhnya meningkat, pertambahan besar dari dinding perut terlihat. Sapi betina
menjadi lebih tenang, pada sapi betina yang baru pertama kali bunting terlihat
adanya perkembangan ambing, terlihat adanya gerakan pada perut sebelah bawah,
sisi kanan, dan belakang. Maka gejala kebuntingan positif (Murtidjo, 1990).
Pada
rusa timor betina pada umur satu sampai dua tahun sudah dapat bereproduksi dengan
lama bunting antara 7.5 bulan sampai 8.3 bulan. Bila ditangani secara intensif
satu bulan setelah melahirkan rusa sudah dapat bunting lagi terutama bila
dilakukan penyapihan dini pada anak yang dilahirkan. Setiap tahun rusa dapat
menghasilkan anak, biasanya anak yang dilahirkan hanya satu ekor. Untuk
Penangkaran rusa , jumlah betina lebih banyak dibandingkan jumlah jantan karena
satu ekor rusa jantan dapat mengawini beberapa betina dan pada rusa timor Ratio
seks jantan: betina yaitu 1:2 (Takandjandji, 1993) dan menurut Garsetiasih dan
Takandjandji (2007) bahwa rusa jantan dalam penangkaran dapat mengawini empat
ekor rusa betina.
Pola
Kopulasi Rusa
Pola
kopulasi terjadi secara berurutan sehingga mudah dibedakan dengan aktifitas
prekopulatori. Dimulai dengan percumbuan (courtship), pada
periode ini biasanya pejantan memisahkan betina estrus dengan kelompok betina
lain bahkan mengusir pejantan-pejantan sub ordinat (secara hirarki lebih rendah
tingkatan sosialnya) yang mencoba mendekati betina. Pamer seksual juga
ditunjukkan dengan cara menciumi daerah perineal betina dan roaring (vocalization).
Flehmen (nyengir atau lip curl) juga merupakan komponen
percumbuan yang khas pada Artiodactyla. Rusa mengambil posisi kepala tegak pada
mulut ke arah atas dan bibir atas terangkat. Stimulus flehmen dapat berupa
urine betina atau genital betina. Setelah mencium urine atau genital betina
estrus, rusa jantan akan flehmen (Toelihere, 1983).
Mounting
(penunggangan) biasanya belum
berhasil sampai beberapa kali pada saat betina masih pada fase proestrus (belum
bersedia menerima pejantan). Setelah betina estrus (cukup reseptif menerima
pejantan) maka penunggangan akan diikuti dengan kopulasi. Pejantan meletakkan
dagunya pada bagian belakang betina dan betina memberikan respon dengan memberi
tekanan dengan menggunakan punggungnya ke arah atas. Bila sudah demikian, maka
pejantan akan memfiksir kaki depan pada pinggul betina dan mendorong pelvis ke
arah depan. Selama proses penunggangan organ kopulatori ereksi secara partial
dan keluar dari preputium. Bila ada cairan yang keluar dari organ kopulatori
merupakan eksresi dari kelenjar Cowper bukan semen.
Intromisi
terjadi
karena adanya kontraksi musculus rectus abdominalis. Setelah semua organ
kopulatori keluar dari preputium, intromisi baru terjadi. Lama waktu intromisi
yang bervariasi antar jenis ternak.
Ejakulasi
terjadi
setelah intromisi sempurna sehingga semen dapat dideposisikan pada tempat yang
sesuai dengan anatomi organ reproduksi betina. Rusa jantan deposisi semen
mendekati mulut serviks. Ejakulasi aborsif dapat terjadi apabila betina menolak
intromisi organ kopulatori pejantan.
Refraktori
adalah
masa istirahat sementara dari aktivitas reproduksi. Menurut Toelihere et al.
(2005) frekuensi kopulasi berbeda menurut iklim, jenis, bangsa, individu, sex
ratio, luas atau kandang, periode istirahat kelamin dan rangsangan seksual.
Bila kondisi iklim memungkinkan untuk kopulasi maka kopulasi dapat terjadi pada
waktu siang atau malam hari.
BAB III
METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan adalah dengan metode pengumpulan data-data dan
informasi yang berbentuk buku-buku, jurnal dan hasil-hasil penelitian yang mana
dengan data-data dan informasi yang telah dikumpulkan, yang nantinya ditemukan
sebuah permasalahan. Berdasarkan pemasalahan yang telah ditemukan maka akan
menciptakan alternative pemecahan masalah dan pemecahan masalah yang
digunakan dalam metode penulisan ini adalah dengan metode telaah pustaka.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Rusa Sambar
Rusa Sambar (Cervus unicolor) merupakan rusa terbesar untuk daerah
tropik dengan sebaran di Indonesiaterbatas di pulau Sumatera, Kalimantan dan
pulau kecil di sekitar Sumatera (Whitehead, 1994). Rusa sambar juga merupakan
jenis rusa yang besar dan mempunyai kaki yang panjang, warna kulit dan
rambut coklat tua, bagian perut berwarna lebih gelap sampai kehitam-hitaman,
rambut kaku, kasar dan pendek. Berat badan bervariasi antara 185 – 260 kg
dengan tinggi badan 140 – 160 cm. Jantan dewasa memiliki rambut surai yang
panjang dan lebat di bagian leher dan atas kepala. Rusa Sambar
mencapai dewasa kelamin pada umur 8 bulan dan dapat hidup hingga umur 11 tahun.
Periode gestasi 7 bulan dan interval gestasi mencapai 1,5 tahun (Jacoeb dan
Wiryosuhanto, 1994). Ada kecenderungan anak jenis rusa sambar yang berasal dari
India dan Sri langka merupakan yang terbesar dan tertinggi (Awal et al., 1992,
Lewis et al., 1990). Pada linkungan peternakan di Australia, rusa sambar
betina dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, 1984). Berdasarkan daftar merah
yang dikeluarkan IUCN tahun 2007, rusa Sambar berstatus Lower
Risk/Least Concern dan termasuk dalam spesies yang dilindungi oleh
pemerintah Indonesia.
Warna bulu rusa sambar umumnya coklat denganvariasinya yang agak kehitaman
(gelap) pada yang jantan atau yang telah tua. Ekor agak pendek dan tertutup
bulu yang cukup panjang. Keadaan bulu termasuk kasar dan tidak terlalu rapat.
Pada daerah leher bagian lateral, bulu membentuk suatu surai/malai (mane).
Perubahan warna bulu dari coklat cerah menjadi lebih gelap, khususnya pada yang
jantan dominan, sering terlihat bersamaan dengan
masuknya
pejantan ke musim kawin (Semiadi, 2004pengamatan pribadi).
Rusa sambar
memperlihatkan masa reproduksinya di tandai dengan tingkah laku yang
lebih jinak dari pada dalam keadaan biasanya. Masa
reproduksi pada rusa sambar betina terlihat antara bulan Juli hingga Agustus
(Imelda, 2004). Selang beranak antara yang pertama dan kedua berjarak satu
tahun dua bulan, sedangkan lama kebuntingannya adalah antara 250-285 hari
(Ariantiningsih, 2000). Di zona temperate, musim kawin rusa white-tailed (Odocoileus
virginianus) sangat dipengaruhi oleh iklim, akan tetapi ruminansia ini
dapat kawin sepanjang tahun jika hidup di kawasan tropis (Li et al.,
2001).
4.1.2
Habitat
Habitat yang disukai adalah hutan yang terbuka atau padang rumput dan hidup
pada berbagai ketinggian mulai dari dataran rendah sampai daerah pantai hingga
ketinggian 2600 m di atas permukaan laut. Pada semak belukar yang rapat,
biasanya di gunakan sebagai tempat untuk berlindung dan bersembunyi
(Ariantiningsih, 2000).
Adapun
jenis pengamatan yang akan dilakukan adalah beberapa pengamatan reproduksi
yaitu pengamatan esterus, gejala dan siklus esterus betina serta tingkah laku
kawin jantan-betina ini dilakukan melalui observsi visual di siang hari.
Parameter fisiologi reproduksi rusa sambar yang akan di amati :
1.
Gejala/tanda-tanda eksternal estrus rusa betina.
Apabila tanda-tanda estrus ditemukan, dilanjutkan dengan pengamatan
visual bentuk dan kondisi eksternal vulva seperti bengkak, warna kemerahan dan
terasa hangatnya vulva bila disentuh atau tanda spesifik lainnya. Dan apabila tanda-tanda ini sudah
terlihat maka rusa betina sudah mengalami esterus dan siap untuk dikawini.
2.
Durasi estrus rusa betina.
Dilakukan
dengan cara menghitung jumlah hari dimulai dari saat munculnya gejala estrus di
hari pertama sampai hari terakhir gejala estrus terlihat (Putranto, 2008). Parameter
ini akan menunjukkan kemungkinan munculnya fenomena silent estrus pada
rusa Sambar betina (jika ada). Apabila terjadi silent esterus itu berarti rusa
telah di kawini.
3. Pencatatan tingkah
laku estrus rusa betina.
Dilakukan dengan cara observasi visual tingkah laku estrus berupa
vokalisasi, flehmen dan urinasi (Schmidt et al., 1988; Umaphaty et al.,
2006) yang dilakukan siang hari antara pukul 08.00 hingga 17.00 setiap hari.
Setiap tingkah laku estrus yang terlihat diberi skor satu (1) dan nol (0)
bila tidak ditemukan pada hari tersebut (Putranto, 2008). Total data skor
tingkah laku estrus dinyatakan dalam frekuensi per 30 hari selama satu musim
(hujan atau kemarau) dengan bulan sebagai ulangan.
4.
Pencatatan tingkah laku kawin rusa jantan – betina.
Dilakukan dengan observasi visual
tingkah laku kawin berupa vokalisasi, tarian ataupun aktifitas fisik yang
dilakukan rusa jantan dan betina serta kopulasi yang dilakukan siang hari
antara pukul 08.00 hingga 17.00 setiap hari. Setiap tingkah laku kawin yang
terlihat diberi skor satu (1) dan nol (0) bila tidak ditemukan pada hari
tersebut (Putranto, 2008). Total data skor tingkah laku kawin dinyatakan dalam
frekuensi per 30 hari selama satu musim (hujan atau kemarau) dengan bulan
sebagai ulangan.
5.
Penimbangan berat badan hidup rusa jantan dan betina.
Rusa jantan dan betina akan
ditimbang berat badan hidupnya pada tanggal 1 setiap bulannya. Unit pengukuran
adalah kilogram.
4.2 Pembahasan
Parameter fisiologi reproduksi rusa
sambar yang diamati dalam penelitian ini meliputi gejala/tanda-tanda eksternal
estrus rusa betina, durasi sterus rusa betina, tingkah laku esterus betina,
tingkah laku kawin jantan-betina dan penimbangan berat badan hidup rusa jantan
dan betina.
Gejala/tanda-tanda eksternal esterus
betina merupakan factor utama dalam proses siklus kawin rusa yang mana tanda
ini sangat berpengaruh untuk memberikan sinyal terhadap pejantan bahwa rusa
betina siap untuk dikawini. Apabila tanda-tanda tidak kelihatan ,maka kegiatan
reproduksi rusa otomatis akan terhambat dikarenakan sang pejantan tidak tau
kapan betina siap dikawini.
Durasi esterus betina merupakan juga
factor penting dalam siklus kawin rusa karena dengan mengetahui berapa lama
durasi esterus rusa betina maka kita dapat mempersiapkan pejantan untuk
mengawini rusa betina, sehingga kita tidak kehilangan saat-saat dimana rusa
betina sedang esterus.
Pencatatan tingkah laku kawin rusa
juga merupakan komponen penting dalam penelitian ini karena apabila rusa jantan
menunjukkan tanda-tanda yang aneh seperti mengeluarkan suara-suara atau berupa
tari-tarian itu berarti rusa jantan tersebut ingin mengawini rusa betina.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian telaah pustaka yang
telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa dengan pengetahuan tentang
tingkah laku reproduksi rusa pada saat musim kawin dapat memberikan informasi
data fundamental yang nantinya akan menjadi landasan untuk teknologi reproduksi
selanjutnya.
Daftar Pustaka
Alikondra, S. 1990. Pengelolaan
Satwa Liar, jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut pertanian
bogor.Bogor
Anderson, R. 1984. Deer farming in
Australia. In: Deer Refresher CourseProceedings no. 72. Sydney:
University of
Sydney.
Awal. A, N.J sarker and K.Z Husain.
1992. Breeding Record of Sambar Deer (Cervus unicolor) in Captivity. Bangladesh
jounal of zoology 20: 285-290.
Cornwell-Smith, M.J. 1981.
Farming deer in Britain and New Zealand. Span Vol. 24. hal:
12-15.
Conservation International, 1999.
Mengenai Keanekaragaman Hayati. Irian jaya.
Garsetiasih,
R., N. Herlina. 2004. Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di
Halaman Istana Bogor.
Imelda. 2004. Tingkah Laku Sosial Rusa
Sambar (Cervus unicolor Equinus) di Balai Raya Semarak Bengkulu. Skripsi. Program Studi Produksi Ternak Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. 96 hal.
Iskandar, T. 1990. Rusa bawean
perlukah dibudidayakan. Poultry Indonesia No. 130/Th. XI Nopvember 1990.
Jakarta.
Jacoeb, T.N. dan Wiryosuhanto,
S.D. 1994. Prospek Budidaya Ternak Rusa. Kanisius,
Yogyakarta.
Li, C., Jiang, Z., Jiang, G. dan
Fang, J. 2001. Seasonal changes of reproductive behavior and fecal
steroid concentrations in Perè David`s deer. Hormones and Behavior
Vol. 40. hal: 518-525.
Lewis, J.C., L.B. Flynn, R.L.
Marchinton, S.M. Shea, and E.M.Marchinton.1990. Part I. Introduction, study
area description and literature review.In: Ecology of sambar on St.
Vincent National Wildlife Refugee. Florida.Tall Timbers Research Station. Tallahassee
Bulletin 25: 1-12
Meffe, G. K. dan C. R. Carroll.
1994. What is Conservation Biology? : Principles Of Conservation Biology.
Sinaver Associates, Inc. Publishers. Sunderland. Massachussetts.
Putranto, H.D. 2008.
Reproductive Physiological Studies for Conservation of Indonesian Endangered
Animals by Non-Invasive Analysis of Sex Steroid Hormones.
Disertasi. Gifu University, Japan. 134 hal.
Putranto, H.D., Kusuda, S., Inagaki,
K., Kumagai, G., Ishii-Tamura, R., Uziie, Y. dan Doi, O. 2007a.
Ovarian activity and pregnancy in the Siberian tiger, Panthera tigris
altaica, assessed by fecal gonadal steroid hormones analyses. The
Journal of Veterinary Medical Science Vol. 69 (5). hal: 569-571.
Putranto, H.D., Kusuda, S.,
Hashikawa, H., Kimura, K., Naito, H. dan Doi, O. 2007b. Fecal
progestins and estrogens for endocrine monitoring of ovarian cycle and
pregnancy in Sumatran orangutan (Pongo abelii). Japanese
Journal of Zoo and Wildlife Medicine Vol. 12 (2). hal: 97-103.
Putranto, H.D., Kusuda, S., Ito, T.,
Terada, M., Inagaki, K. dan Osamu, D. 2007c. Reproductive cyclicity
based on fecal steroid hormones and behaviors in Sumatran tigers, Panthera
tigris sumatrae. Japanese Journal of Zoo and Wildlife Medicine
Vol. 12 (2). hal: 111-115.
Petoc, R. G. 1987. Konservasi alam
dan pembangunan irian jaya. Graffiti press. Jakarta.
Salwasser, H. 1994. Corsevation
Biology and Management of Natural Resources. In Meffe and Carrol. Principles of
Conservation Biology. Sinaver Associates. Inc. Publishers. Sunderland.
Massachussetts.
Semiadi, G. 1998. Pola kelahiran Rusa
timorensis di Nusa Tenggara Timur. Hayati 5: 22-24.
Semiadi, G and R.T.P. Nugraha, 2004.
Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Schmitd, A.M., Hess, D.L., Schmidt,
M.J., Smith, R.C. dan Lewis, C.R. 1988. Serum concentrations of
oestradiol and progesterone, and sexual behavior during the normal oestrous
cycle in the leopard (Panthera pardus). Journal of Reproduction
and Fertility Vol. 82. hal: 43-49.
Soerianegara, I. 1997. Pengelolaan
Sumber Daya Alam (Buku I). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soekarnto, T. dan U. S. winataputra.
1997. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran Pusat Antar Universitas Untuk
Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instrusional. Direktur jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sugandhy, A. 1995. Bioteknologi dan
keselamatan hayati : Mengatisipasi Dampak Bioteknologi Modern Terhadap
Kehidupan Manusia dan Etika. Konphalindo. Jakarta.
Umapathy, G., Sontakke, D.,
Srinivasu, K., Kiran, T., Kholkute, S.D. dan Shivaji, S. 2006.
Estrus behavior and fecal steroid profiles in the Asiatic lion (Panthera leo
persica) during natural and gonadotrophin-induced estrus. Animal
Reproduction Science Vol. 101 (3-4). hal: 313-325.
0 komentar:
Posting Komentar